Selamat atas pengangkatan Bapak sebagai ketua KPK periode 2015 – 2019.
Jangan panggil saya dengan panggilan “Bapak” gitu ya. Saya agak gak nyaman dengan panggilan itu. Panggil saja nama saya langsung, atau boleh juga panggil “Saudara” atau “Anda.” Lebih egaliter.
Dan mungkin ini akan terdengar klise, tetapi bagi saya jabatan ketua KPK ini adalah amanah, yang sangat berat. Nah, mengingat saya belum mulai menjalankannya, dan belum terlihat keberhasilan atau kegagalan saya, sebaiknya ucapan selamat ini ditunda sampai saya selesai menjalani masa jabatan saya. Pada saat itu sudah akan terlihat apakah saya berhasil menjalankan tugas atau tidak.
Bagaimana Anda memandang korupsi di negeri ini?
Seperti diungkap Tim Lindsey di sini, perilaku korupsi ada di mana-mana dan di banyak negara. India, China, Australia, dan Amerika Serikat juga tidak sepenuhnya bebas dari korupsi. Permasalahan yang lebih penting memang bukan apakah ada korupsi atau tidak, tetapi apa yang dilakukan untuk menghadapinya. Menurut saya pribadi, Indonesia, termasuk KPK di dalamnya, telah melakukan banyak hal. Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia, meski masih rendah pada angka 3,00 pada tahun 2011, telah meningkat dari hanya pada angka 2,00 pada tahun 2004. Peningkatan angka Indeks Persepsi Korupsi ini merupakan yang terbesar di Asia Tenggara, nomor lima di Asia, dan nomor delapan di dunia. Kita bersama patut mensyukurinya.
Berita baiknya, korupsi telah disadari sebagai persoalan serius di Indonesia yang wajib dibenahi. Namun, tetap perlu disadari bahwa atas aksi pemberantasan korupsi ini pasti akan ada perlawanan dari pihak-pihak yang dirugikan. Harapan saya, upaya corruptor strikes back ini tidak sampai sukses membuat masyarakat Indonesia semakin toleran terhadap korupsi dan koruptor. Biarkan saja para koruptor yang terganggu itu melakukan perlawanan balik, yang penting orang-orang baik dan masyarakat umum tetap sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang menghancurkan negara, perekonomian dan tata moral. Masyarakat harus bikin jera koruptor dan calon koruptor, jangan justru dihargai dan dihormati atau bahkan diberikan jabatan kembali sebagai pejabat publik. Penghargaan yang keliru kepada koruptor dan mantan koruptor ini akan membuat tidak ada efek jera terhadap korupsi dan koruptor. Dan ini sangat berbahaya.
Menurut Anda, apa penyebabnya sehingga tingkat korupsi Indonesia bisa seperti ini?
Ada berbagai jenis modus korupsi dan tingkatnya, masing-masing punya penyebab yang berbeda-beda. Namun secara umum, saya percaya teori Simple Model of Rational Crime (SMORC) dari peraih Nobel Ekonomi Gary Becker, yang pada dasarnya mengatakan bahwa setiap pelaku kriminal, termasuk koruptor, adalah makhluk rasional yang akan mempertimbangkan cost dan benefit dalam melakukan tindakan korupsinya.
Kalo dari segi benefitnya, korupsinya kan sudah jelas: uang dan harta hasil korupsi, nilainya bisa sangat bervariasi tergantung jenis pidanan korupsi yang dilakukannya. Nah, kalau dari segi cost-nya, pelaku korupsi ini berpikir ulang jika kemungkinan tindakan korupsi itu akan ketauan relatif tinggi, ditambah lagi dengan adanya denda dan hukuman yang penjara yang sangat tinggi dan ditutup dengan hukuman sosial dari masyarakat kepada mantan koruptor. Pada kondisi sebaliknya, yaitu: kemungkinan terjerat yang rendah (sehingga yang tertangkap ‘hanya’ dianggap apes), denda dan hukuman ringan, dan belum lagi kalau perilaku permisif masyarakat terhadap koruptor maka expected costs korupsi akan lebih rendah dari benfit-nya, yaitu uang hasil korupsi. Hasil akhirnya, korupsi really does pay dan perilaku korup akan sangat rasional untuk dilakukan oleh siapa pun yang sempat dan berminat melakukannya.
Lantas…
Nah, tugas KPK adalah untuk mengoptimalkan cost dari korupsi sehingga tidak akan pernah lebih rendah dari benefit yang diperoleh. Sesuai Undang-Undang Nomor 20/2002, KPK dibentuk dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Segala tindakan KPK akan dioptimalkan agar calon koruptor akan berpikir ulang ribuan kali sebelum melakukan korupsi dan koruptor menyesal dan jera untuk melakukan korupsi.
Untuk mencapai tujuan agar setiap perilaku korupsi sangat besar kemungkinannya terungkap, perlu pengawasan semua pihak terkait pemberantasan korupsi di bawah koordinasi KPK. Selanjutnya, untuk membuat koruptor jera, KPK akan mengoptimalkan hukuman maksimal dan optimalisasi media agar mantan koruptor tidak dapat menikmati hasil korupsinya.
Baca lebih lanjut →