Mantap Bung Fahri!

Seperti sudah diulas di postingan saya yang ini, pas pemilu legislatif kemaren saya, dengan sangat norak dan lugunya saya memutuskan untuk ikutan nyontreng. Saya tidak ingat betul sebetulnya alasan saya ikut-ikutan nyontreng waktu itu apakah karena: sekalian nemenin istri jalan-jalan ke City; iseng gak punya kerjaan; pengen nyobain rasanya nyontreng di negeri orang (dan jadi punya bahan ngeblog); bujuk rayu temen; atau karena saya memang benar-benar dengan tulus dari lubuk hati yang paling dalam ingin memajukan kehidupan demokrasi di Indonesia (dengan menyalurkan pilihan ke partai yang saya harapkan bisa mewakili aspirasi saya)!…beuh bisa juga saya nulis serius dengan EYD

Atau bukan satu pun alasan yang disebut di atas? Sangat mungkin…

Apapun alasannya, yang jelas saya menyesali keputusan saya nyontreng waktu itu. Menyesal semenyesalnya.. Kalo saja ada mesin waktu, pas tanggal 9 April 2009, saya bareng istri tidak akan turun di Bus Stop B2 dan bela-belain jalan ke 5 EBI Radio, melainkan langsung aja ke Adelaide City Council Library, pinjem buku. Selesai..

Saatnya saya memberitahukan rahasia saya terkait urusan nyontreng ini kepada Anda sekalian, my dear fellow readers, yaitu saya milih partai yang ini pas pemilu tahun 2009. Dan juga pas pemilu tahun 2004, plus pas pertama kali nyoblos tahun 1999. Kalo dari sudut pandang produsen dan penjual, saya ini repeat customer. Repeat customer tentunya karena saya puas dengan layanan, atau karena memang saya tidak punya pilihan lain.

Dan saya kuciwa sekuciwanya dengan partai tersebut, dengan alasan-alasan kayak gini nih:

1. It’s all about expectation

Ketika saya memilih partai tersebut, tentu saya punya harapan dan ekspektasi. Ekspektasi saya dari awal adalah bahwa partai tersebut, dan politisnya, ‘beda’ dengan yang lain. Saya mengharapkan partai tersebut ini ingin membuktikan ucapannya Henry Kissinger:

90% of the politicians give the other 10% a bad reputation. ~ Henry Kissinger

dan membuktikan kredo yang saya pegang dari awal bahwa:

All politician are equally bad, and evil.

adalah salah.

Saya tentu tidak mengharapkan hal yang ‘beda’ tersebut dari partai lain, Golkar atau PDIP misalnya. Itulah makanya saya tidak pilih Golkar…

Doktrin yang pernah saya dengar, adalah: kalo umat islam  pasif dan tidak ikut urun rembug dalam hal-hal yang penting seperti politik dan kekuasaan, maka politik dan kekuasaan ini akan diisi oleh orang lain (dengan ideologi yang gak jelas), makanya perlu aktif dalam politik dan kekuasaan. Bayangan saya, partai tersebut akan mengubah politik dengan kesantunan, kepedulian, kebersihan, dan kejujuran.

Akan tetapi, menurut saya yang terjadi adalah:

They want to change politics, but, hell no, politics change them. ~ Unknows source

Yang terjadi selama periode yang saya tahu, yang saya pahami partai tersebut tidak ada bedanya dengan partai lain: perilaku legislator yang tidak ‘membedakan diri’, terobsesi dengan kekuasaan (menteri dan kepala daerah), penuh dengan kepentingan sesaat, jadi bunker koruptor dan kroninya (I’m looking at Nunun Daradjatun and Misbakhun), dan penuh intrik ketidakkompakan satu dengan yang lainnya.

2. Engkau tidak seperti yang dulu

Selama periode tahun 1999 – 2004, berita terkait legislator partai tersebut didominasi dengan berita seperti: penolakan terhadap kenaikan gaji dan fasilitas, penolakan uang suap dan sogokan, atau pun berita anggota DPR asal partai tersebut yang bikin bantuan sosial sebagai kompensasi uang yang mereka terima selaku anggota DPR. (Note: saya berusaha mencari link terkait namun kesulitas mencari time-frame waktu yang cocok, maaf).

Selewat tahun 2004, setelah berubah menjadi partai tersebut, berita-berita sejenis itu tenggelam. Atau mungkin karena saya yang tidak peduli lagi. Tenggelamnya berita ‘berbedanya’ partai tersebut ini bisa jadi menandakan memang tidak ada lagi kasus-kasus sejenis, atau masih tetap ada kasus sejenis tapi tidak lagi di-cover media. Keduanya mungkin dan mungkin saya fine-fine saja, sampai saya mendapatkan informasi dari teman dekat yang mengikuti pembahasan salah satu RUU pada tahun 2008, dan menyatakan: legislator asal partai tersebut tidak berbeda dengan yang partai lain, meliputi: menerima dan menandatangani ‘saweran amplop’, garang pas pembahasan dan setelah rapat di-skorsing 5 menit berubah arah menjadi mendukung, dan adanya pengakuan dari stakeholders: “kalo urusan ribet beginian, hubungi aja A*** R*****, pasti beres!”

Terkait penerimaan uang oleh legislator, konfirmasi saya dengan salah satu kader partai tersebut menunjukkan bahwa memang dimungkinkan legislator asal partai tersebut menerima uang pada saat rapat, pertemuan, kunjungan, akan tetapi pasti penerimaan uang itu dilaporkan ke Dewan Syariah dan akan diputuskan lebih lanjut apakah uang itu akan: dikembalikan ke kas negara, disumbangkan dalam bentuk bantuan sosial, atau pun tetap menjadi hak sang legislator.

Permasalahan dengan mekanisme lapor ke Dewan Syariah ini adalah: bagi orang luar, termasuk saya, adalah: legislator partai tersebut menerima uang. Soal laporan dan tindak lanjutnya, itu adalah mekanisme internal partai tersebut yang saya belum tentu tahu seperti apa persisnya. Bagi saya, partai tersebut ‘tidak beda’ dengan yang lain. Period.

Logika pembandingan penerimaan uang oleh legislator partai tersebut yang dibandingkan dengan seorang PNS yang terpaksa menerima uang pada saat menjalankan tugas pun menjadi tidak masuk akal mengingat: PNS yang terpaksa menerima uang biasanya terkait masa depan karier (takut atasan) dan lingkungan yang menekan (daripada dikucilkan), yang sama sekali tidak applicable bagi legislator (tidak punya atasan, dan tidak perlu berkawan dengan legislator penerima uang kan?)

3. Rule the world, again

Kalo soal kekuasaan, saya selalu inget tokoh villain di kartun (you name it: Lex Luthor, Ras Al Ghul, Magneto, Doctor Doom atau bahkan Brain), yang tereak:

spread the message that ….. should rule the world

Makanya, ngeliat pola partai tersebut yang sejak tahun 2004 berkutat di kekuasaan bikin saya tersenyum getir. Tahun 2004 partai tersebut ganti mendukung SBY setelah di putaran pertama  Amien Rais kalah. setelah pun berkoalisi dan dapet jatah menteri.

Tahun 2009, selepas pemilu legislatif, berita seputar partai tersebut yang jadi headline detik.com selalu terkait kekuasaan. Bahkan sempet menggertak ketika akhirnya SBY memilih Boediono jadi wapres. Gertak sambal gak jelas yang ternyata kemudian partai tersebut ternyata merapat dengan koalisi SBY.

Sebagai partai koalisi pun, partai tersebut perilakunya lebih oposisi dari yang oposisi (dalam hal ini PDIP, Hanura, dan Gerindra). Dalam banyak kasus (Pansus Bank Century, Pansus Angket Perpajakan, kasus Susno Duadji Cicak – Buaya, pembahasan banyak RUU, dan yang terakhir penolakan Bibit – Chandra), partai tersebut satu suara dengan Golkar menentang suara pemerintah. Saya tidak dalam posisi membahas untuk setiap kasus dan menyatakan pendapat saya, namun yang jelas posisi partai tersebut yang selalu berseberangan dengan pemerintah ini bagi saya adalah perilaku serigala bermuka kambing (yang berjenggot). Kalo mau dapet jatah menteri, ya tau diri dong! Kalo nggak, jantan dan jadilah oposisi… Apa yang salah dengan oposisi? Tidak ada bagi saya, selain bahwa mereka tidak dapat jatah kekuasaan. Kalo partai tersebut beroposisi, postingan ini mungkin tidak akan di-publish…

Saya memang belum pernah merasakan secara langsung perubahan yang terjadi partai tersebut, cuma kalo ngeliat kinerja dari menteri asal partai tersebut, saya hanya bisa salut sama Anton Apriyantono, sang Menteri Pertanian KIB I. Lainnya? Pret… (kalikan dua kali pret untuk Tifatul Sembiring Meliala)! Sedikit tentang Depok, saya tidak tahu berapa banyak taman kota, pedestrian lebar dan nyaman, dan public library yang dibangun semasa Nur Mahmudi Ismail menjabat, tapi yang jelas akan dibangun The Saladdin Square. Great, and he gave me another mall

3. (Bukan hanya)  masalah komunikasi

Ketika saya mengungkapkan masalah bahwa di media partai tersebut direpresentasikan dengan apa-apa yang sudah saya ulas di atas, kader partai tersebut tempat saya berkonsultasi bilang: itulah masalah kami Boss, gak ada media yang mendukung kita; makanya yang muncul soal partai tersebut selalu yang negatif.

Respon saya: “Dude, that’s totally your problem. Not mine!” Ketika partai tersebut sudah memutuskan berpolitik, segala konsekuensi harus ditanggung, termasuk soal pencitraan di media. Soal partai tersebut gak punya media sendiri, solve it by yourselves, jangan calon pemilih yang disuruh nyari media khusus yang ngedukung partai tersebut. Nonsense…

Lagian, di era blog, facebook dan twitter, alasan gak punya media khusus jadi sama sekali gak valid. Soal efektivitasnya, coba liat apa yang dimuat di situs resminya partai tersebut (http://www.pk-sejahtera.org/) maupun di twitter (http://twitter.com/#!/PKSejahtera). Apakah sudah diefektifkan? Di dunia twitter, partai tersebut justru ‘sangat terwakili’ oleh Fahri Hamzah dan Anis Matta, yang… ah, sudahlah…

Kesantunan pun, bagi saya, sudah hilang dalam ciri berpolitik partai tersebut. Selain soal jenggot dan poligami, politisipartai tersebut dalam mengeluarkan pendapat sudah sama garang dan lupa diri, gak beda dengan politisi partai lain. Beberapa orang bahkan sampai berpendapat bahwa setelah 11 tahun berpolitik, politisi partai tersebut sudah sama terampilnya dan melakukan intrik politik dan men-setting kasus…

4. Mantap Bung Fahri!

Kasus terakhir yang bikin saya semakin empet sama partai tersebut adalah kasus penolakan Bibit – Chandra dalam RDP Komisi III dan Tim Pengawas Kasus Bank Century. Fraksi partai tersebut dengan jelas-jelas menolak kehadiran Bibi Chandra, dengan alasan absurd bahwa Bibit – Chandra masih berstatus tersangka walau sudah dideponeering. Saya bilang absurd dan tidak masuk akal karena: Fahri Hamzah pun tidak bisa menjelaskan dengan logis alasannya, yang ngeluarin deponeering kan jaksa agung kenapa lantas KPK yang diobok-obok, apa partai tersebut gak punya urusan lain (seperti bikin UU sesuai target) sampe perlu ngurusin dan intrik yang beginian…

Bagi saya, KPK, dan SMI, adalah harapan yang tersisa dari republik ini menjadi bersih. DPR, dengan partai tersebut di dalamnya, turut serta mengobok-oboknya, demi kepentingan siapa lagi selain koruptor. Penjelasan Fahri Hamzah maupun Anis Matta tidak mampu melumerkan pendapat saya bahwa: Apanya yang mantap Bung Fahri? Secara de facto, yang senang dengan terkatung-katung status Bibit – Chandra adalah para mafia hukum dan koruptor yang takut kepentingannya terganggu. What say you?

Belum lagi ditambah dengan kasus DPR yang ngobok-ngobok Komisi Pengawas Perpajakan karena mengungkap penyelundupan dua kontainer di Tanjung Priok. Kali ini, politisi Andi Rahmat yang beraksi menekan Menteri Keuangan agar kewenangan Komisi Perpajakan dibatasi ngawasin Ditjen Bea Cukai. Bagi saya, selain kepentingan penyelundup, tidak ada yang lebih masuk akal dibela dalam kasus ini.

Pokoknya semuanya absurd dan gak jelas, sebelum adanya informasi baru yang bakal mengubah saya untuk tidak menyesal dengan pilihan saya pas pemilu legislatif tahun 2009, bagi saya tetap: ALL politician are equally bad, and evil. Silakan para politisi partai tersebut yang masih merasa bersih untuk melakukan pembuktian terbalik dengan menarik garis batas yang jelas antara politisi hitam dan politisi putih.

Lastly, mau tidak mau saya harus setuju bahwa politik adalah masalah pencitraan, dan partai tersebut telah memberikan citra yang tidak sesuai dengan aspirasi saya. Then,  it’s already confirmed, PKS, Anda kehilangan satu suara pada tahun 2014.

Wallahu a’lam.

Note:

  • Saya berusaha membuat link untuk setiap argumen saya, namun rupanya jadi melelahkan dan repot sekali. Akhirya ya seadanya dan seingetnya saja. Saya bisa saja salah, tapi seperti itulah memori saya merekam.

Tentang Maman Firmansyah

Seorang pegawai, seorang suami dari seorang istri, dan ayah dari dua orang anak.
Pos ini dipublikasikan di Itulah Indonesia, politicking. Tandai permalink.

3 Balasan ke Mantap Bung Fahri!

  1. mya berkata:

    confirmed, PKS, anda sudah kehilangan satu suara lainnya di 2014,,

  2. Ping balik: Arifinto.. at Its Best « My Mind

Tinggalkan Balasan ke Maman Firmansyah Batalkan balasan